designindonesia
Desain biasa diterjemahkan sebagai seni terapan, arsitektur, dan berbagai pencapaian kreatif lainnya. Dalam sebuah kalimat, kata "desain" bisa digunakan baik sebagai kata benda maupun kata kerja. Sebagai kata kerja, "desain" memiliki arti "proses untuk membuat dan menciptakan obyek baru". Sebagai kata benda, "desain" digunakan untuk menyebut hasil akhir dari sebuah proses kreatif, baik itu berwujud sebuah rencana, proposal, atau berbentuk obyek nyata.
INFO TTG DESIGN dan DISABILITAS
Tuesday, September 2, 2014
Monday, July 28, 2014
ZX 850 Shoes
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LCoXT
Wednesday, May 12, 2010
ARSITEKTUR BATAK KARO yang TRANSFORMATIF
SKETSA ARSITEKTUR KARO MASA KINI
SKETSA ARSITEKTUR KARO MASA KINI
Nuah P. Tarigan
Tulisan ini mungkin tidak cukup dalam menjelaskan situasi dan keadaan Arsitektur Karo masa kini, oleh karena itu saya menambahkan kata sketsa pada judulnya. Sketsa menunjukkan suatu gambaran awal dari suatu bangunan atau arsitektur yang sifatnya private dan public.
Didalam arsitektur, sketsa adalah penumpahan semua ilham dan ide dari seorang arsitek dalam menggambarkan imajinasinya. Akan tetapi tidak cukup hanya sampai sketsa saja, karena perlu dikembangkan lagi dengan apa yang dinamakan Rencana dan Rancangan (Plan dan Design). Arsitektur Karo seharusnya juga punya dinamika yang progresif, tidak berhenti atau mandeg. Ini ditunjukkan dengan makin banyaknya bangunan yang ber’nuansa; Karo, akan tetapi itu tidaklah cukup karena ternyata banyak bangunan yang bertype Karo tersebut hanya bentuk luarnya saja (Form) akan tetapi Ruang (Space) nya tidak sesuai sama sekali.
Arsitektur Karo yang lumayan representative menurut saya saat ini adalah bangunan gereja Katolik yang baru di Brastagi, lokasinya pas ditikungan dan terletak agak tinggi dari bangunan lainnya, dan juga beberapa arsitektur bernuansa Karo lainnya yang ada di Kabupaten Karo dan Deli Serdang. Hanya perlu ditelusuri juga apakah bangunan bangunan yang secara bentuk atau form/ shape nya sudah memenuhi kriteria konsep bangunan Karo. Karena hati atau nyawanya pun harus punya kaitan dengan KeKaroan.
Sangat disayangkan bahwa akhir-akhir ini banyak warga Karo yang tidak peduli lagi dengan Arsitektur bernuansa Karo ini, kebanyakan para eksekutif dan pemilik rumah yang punya uang yang berlebih, mendesign bangunan rumahnya dengan arsitektur minimalis, bali, avant-garde lainnya, atau pendekatan ekletis (campur-campur). Memang ada yang berusaha untuk mendesign bangunan dengan memakai bentuk atap Karo dan atap yang punya empat muka (empat ayo), akan tetapi kebanyakan gagal dalam hasil designya karena hanya menjiplak secara membabi-buta.
Atap bukanlah satu-satunya unsur yang diperhatikan didalam mendesign bangunan Karo, ada banyak hal yang perlu diperhatikan yaitu corak warna, shape, space, mass, unity, tones, dan lain sebagainya. Ini akan bertautan dengan fungsi bangunan, konteksnya dan sumbangannya dalam membuat lingkungan yang asri, bersih dan sehat.
Arsitektur yang asri, bersih, sehat, punya sumbangan dalam sosial kemasyarakatan dan bermartabat. Satu hal yang penting adalah sumbangan kita dalam pembangunan masyarakat yang menyeluruh, bukan hanya untuk kepentingan pribadi dan kepuasan duniawi dan material. Karena ini pada akhirnya akan menyumbangkan peran serta yang luar biasa dalam perencanaan dan perancangan kota. Saya kira ini bisa diasosiakan dengan keluarga yang sehat dan kuat akan membuat Negara kita ini sehat dan kuat juga.
Suatu bangunan yang bermartabat dan punya peran dalam sosial kemasyarakatan adalah bangunan fisik yang tidak super-egois dan tidak sangat individualis. Memang unsur private tidak boleh hilang, akan tetapi seharusnya dia tidak melupakan masyarakat yang memberikan sumbangan yang besar bagi kemaslahatan dirinya.
Adanya hubungan yang organis dan saling mendukung ini akan membuat keluarga dalam satu rumah atau suatu fungsi bangunan itu akan menjadi suatu hubungan simbiosis mutualistis, saling membantu dan membangun. Banyaknya kegagalan yang terjadi dalam masyarakat kita tidak lepas dari ketidak-mampuan kita dalam melihat sisi sisi manusiwai dalam arsitektur, artinya, kita sering hanya memuaskan diri kita sendiri untuk kehebatan dan kepopuleran kita tanpa melihat manfaatnya pada orang lain.
Akhirnya sketsa ini kiranya dapat menjadi bahan perenungan kita dalam melihat sisi sisi arsitektur Karo yang kontekstual dan bersifat kekinian, bukan untuk membuat suatu menara mercu-suar untuk memuaskan diri kita sendiri, kelompok kita sendiri, dan kebanggaan diri kita sendiri.
Mudah-mudahan arsitektur Karo tidak diKudeta oleh Arsitek-arsitek generesi-generasi masa yang akan datang dan bukan dari kalangan kita sendiri. Semoga tidak menjadi tawanan-tawanan dalam pikiran kita sendiri, kesombongan kita dan kenaifan kita.
Bangkok, 24th September 2006
Wednesday, May 5, 2010
Masalah KUSTA dan STIGMATISASInya di INDONESIA
Masalah Kusta dan Stigmatisasinya di Indonesia
Ir. Nuah P. Tarigan, MA
Pengamat Pengembangan Masyarakat
Hari Kusta sedunia yang sudah dilaksanakan pada tanggal 28 Januari 2007 yang baru lalu sepatutnyalah kita rayakan dengan rasa keprihatinan yang sangat mendalam karena ternyata masalah Kusta dan Stigma yang mengikutinya belum lenyap di bumi Indonesia sampai sekarang.
Jika kita melihat situasi penyakit Kusta atau Leprosy di Indonesia saya kira masih banyak orang yang tidak menyangka bahwa penyakit ini benar benar masih ada dan belum hilang sama sekali keberadaannya. Sekitar dua tahun yang lalu sayapun memiliki pendapat yang sama. Akan tetapi setelah melihat kenyataan yang sungguh-sungguh nyata akhirnya pupuslah pemikiran saya yang tidak komprehensif itu. Kehadiran penyakit ini bukannya semakin menghilang atau berkurang akan tetapi hadir semakin banyak dibeberapa daerah di Indonesia ini. Kalau dulu orang hanya tahu Rumah Sakit Sitanala Tangerang dan sekitarnya sebagai zona penderita kusta di Jakarta sekitarnya maka saat sekarang ini tersebar kemana mana. Bahkan daerah sekitar Bekasi pun saya melihat banyak penderita kusta yang berdiri dan duduk di sudut sudut jalan.
Seperti situasi yang berkembang di bangsa kita ini, rekan rekan penderita kusta tersebut itupun tidak diakomodir dengan baik oleh masyarakat umum dan juga beberapa instansi, mereka dianggap sebagai orang yang perlu dikasihani, atau bahkan juga dihindari dalam artian tidak diberikan kesempatan untuk berapresiasi yang positif dalam hidup mereka. Departemen Kesehatan, beberapa penyandang dana dari luar negeri, dan beberapa organisasi internasional dan nasional memang sudah memberikan bantuan yang sangat signifikan, akan tetapi ini tidaklah cukup, perlu ada gerakan yang menyeluruh dan sifatnya ‘leverage’ atau mengungkit secara bersama sama. Ibarat seperti beberapa orang yang mengungkit batu akan lebih mudah (tentunya dengan panduan aba-aba dari instansi terkait) dibandingkan dengan mengungkit batu tapi sendiri sendiri dan tanpa aba-aba lagi.
Hal inilah yang sering menjadi suatu masalah yang sering terjadi di Indonesia, bukan saja pada masalah kusta akan tetapi pada penyakit penyakit menular lainnya. Memang Kusta sudah tidak sepopuler dengan flu burung, tuberkolosis, HIV-AIDS, dlsb, karena dianggap sudah penyakit kuno dan sudah mulai menghilang. Perkiraan ini salah, karena ternyata penemuan kasus baru kusta setiap tahunnya masih tetap sama dan cenderung naik dari tahun ke tahun. Disamping itum Kusta bukanlah penyakit yang membuat orang mati seketika, seperti penyakit menular lainnya, akan tetapi bisa dikatakan penyakit kronis. Yang banyak sekali menimbulkan masalah masalah sosial ekonomi bagi penderitanya.
Kehadiran penyakit kusta di Indonesia memang masih akan tetap ada, peran masyarakat umumnya dan juga pemerintah beserta organisasi organisasi non pemerintah diperlukan secara simultan. Tidak ada seorangpun yang dapat menyelesaikan masalah kusta ini secara individual. Termasuk rekan rekan yang sudah lama berkecimpung dalam masalah kusta ini.
Dibutuhkan peran serta dari masyarakat mantan penderita dan penderita berbicara secara terbuka didalam masyarakat itu sendiri, kita tidak boleh menafikkan mereka dari segala usaha kita didalam mengentaskan masalah kusta ini. Sayang selama ini kita kurang memberdayakan mereka secara seksama, perlu usaha usaha peningkatan kapasitas dan peran yang jelas dan terbuka bagi para mantan penderita. Tentunya yang dipilih adalah mantan penderita yang memiliki motivasi yang berkarakter, maksudnya bukan karena motivasi insentif yang hanya berdasarkan uang dan materi yang sifatnya tidak akan kekal, dan juga bukan karena motivasi yang disebabkan ketakutan karena mereka tidak akan dapat penghidupan yang layak.
Akan tetapi untuk mencapai usaha-usaha tersebut tidaklah mudah, karena ternyata stigma-stigma yang terjadi didalam masyarakat kita dan juga penyandang cacat kusta juga masih besar. Di beberapa tempat bahkan sangat ekstrim, karena setiap langkah dari penderita kusta dianggap sangat berbahaya dan akan menjangkitkan penyakit ini ke orang orang yang berada didekat mereka. Padahal penyakit ini adalah penyakit menular yang paling lambat menular dibandingkan dengan yang lain. Stigma inilah yang membuat masyarakat penderita kusta hidup berkelompok, dan mengelompokkan dirinya, yang pada akhirnya malah membuat permasalahan akan semakin banyak dan menumpuk. Hanya sedikit persentase saja para penderita ini yang dapat mengembangkan diri mereka menjadi orang orang yang mandiri. Indonesia termasuk lamban dalam mengembangkan hal ini, apalagi kita sampai sekarang belum benar benar memperhatikan dan menjalankan undang-undang yang memiliki konsekwensi dalam menerapkan azas azas hak azasi bagi orang-orang cacat.
Saya ambil contoh, dalam perencanaan design pedestrian di Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman saja para perencana dan kontraktor tidak memperhatikan orang orang yang berjalan dengan kursi roda, tiang tiang yang menghalangi jalan jalan pedestrian, hanya sesuai apabila orang cacat tanpa kursi roda. Begitupula beberapa waktu yang lalu, bahkan di Istana Presiden RI pun tidak ada kamar mandi khusus orang cacat, sehingga menimbulkan kesulitan bagi mereka untuk keluar masuk kamar mandi. Ini masih merupakan contoh kecil akan betapa tidak pedulinya kita kepada orang orang penyandang cacat, apalagi para penyandang cacat kusta yang mungkin lebih menyedihkan dari cacat yang lain.
Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Himpunan Desain Interior Indonesia (HDII) dan Ikatan Arsitek Lansekap Indonesia (IALI) dibutuhkan perannya dalam mengembangkan ini lebih lanjut lagi sampai ketingkat yang lebih tinggi disamping peran peran dari departemen departemen pemerintah RI dan diperkuat LSM LSM lokal dan nasional. Sebenarnya hal ini sudah lama dikembangkan dalam diskusi dan wacana mahasiswa perencanaan dan desain ini, akan tetapi diperlukan ”law enforcement” yang sangat kuat guna menghela ide ide ini sampai ketataran masyarakat yang paling bawah. Kita sebenarnya mampu, buktinya sosialisasi helm, sosialiasi pemakaian lampu sepeda motor siang hari di Jakarta yang dimulai di Surabaya dan mampu menekan angka kecelakaan kendaraan sepeda motor secara signifikan baik di Jakarta dan Surabaya. Masyarakat profesi lainnya juga bisa nimbrung disini, termasuk lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif legislatif Indonesia, pengacara, partai politik, tokoh-tokoh agama dan masyarakat, Komnas HAM, lembaga-lembaga independen, dan juga pemerintah daerah dengan pendekatan kontekstual dan relevan.
Bangsa-bangsa diseluruh dunia sangat memperhatikan Indonesia untuk masalah ini, termasuk lembaga-lembaga yang berasal dari Inggeris, Jepang dan Belanda. Saya khawatir ini hanya berlaku untuk mereka akan tetapi tidak berlaku bagi kita, betapa menyedihkan kalau kita bersikap seperti itu. Himbauan yang sering didengung-dengungkan pemerintah yang diwakili departemen kesehatan tidak ditanggapi dengan baik dari seluruh elemen masyarakat karena dianggap tidak menarik dan tidak memiliki nilai yang besar seperti problem problem sosial dan ekonomi lainnya. Saya kira kita tidak perlu membuat suatu gerakan sosial yang terstruktur dan terorganisasi secara rigid atau kaku, yang dibutuhkan adalah suatu masyarakat yang bertransform secara signifikan dari hari ke hari. Memang peran hukum akan sangat mendukung, apalagi kalau dijalankan dengan penuh kesadaran dan bukan dengan penuh ketakutan. Kalau kita ingin menjadi bangsa yang mandiri, maka seharusnyalah kita mulai berfikir dan bertindak secara kreatif, karena sampai kapan bangsa-bangsa di dunia ini akan dapat membantu Indonesia? Maka diperlukan suatu tindakan yang seperti yang saya katakan diatas yaitu membuat titik ungkit yang akan dijalankan secara bersama sama dengan satu aba aba. Demikian harapan kita masing masing.
Memang masih banyak problem lain yang harus kita kerjakan dan agendakan sebagai bangsa dan rakyat Indonesia selama tahun 2007 ini, saya kira tidak layak kalau masalah Kusta dijadikan agenda yang paling utama secara nasional, akan tetapi sebelum semuanya terlambat, alangkah baiknya kalau kita melihat penyakit, penderita dan mantan penderita ini serta dampak-dampak yang menyertainya apabila tidak ditangani secara dini khususnya lagi pada bagian Indonesia Timur seperti Maluku Utara, Papua, Irja Barat, NTT, Maluku, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dlsb, mungkin ini adalah pembelajaran yang mungkin kecil dari suatu pemecahan permasalahan yang lebih besar lagi di masa depan, Semoga.
Thursday, October 25, 2007
OH LSMKU
Oh...eL-eS-eM ku, Organisasiku
Oleh: Nata'alui Duha
Oh,… eL-eS-eM ku, Organisasiku
Oleh: Nata’alui Duha
Di suatu musim,
Kau tumbuh bagaikan jamur,
Jamur yang berjamur-jamur,
Jamur yang menjadi jamurku,
Jamurku menjadi jamurmu,
Jamurku tumbuh di pohon busuk,
Jamurmu liar di tulang rusuk,
Di pagi hari kau bagai madu,
Di sore hari kau jadi racun.
Tulisan ini saya mulai dengan kata-kata yang tidak enak didengar dan mudah-mudahan masih ada orang yang membacanya.
Begitulah gambaran keberadaan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM)dan organisasi-oraganisasi di Nias di mana anggota-anggotanya adalah orang Nias.
Selain LSM ada juga organisasi kepemudaan (OKP), ormas dan organisasi mahasiswa (HMI, GMKI, PMKRI dll), Organisasi-organisasi yang bersifat gerakan (Barani, Forkot) dan lembaga profesi, semuanya ada di pulau kita, Pulau Nias.
Mengapa hal ini menjadi sorotan saya? LSM atau dalam bahasa lain non-government organisation (NGO) merupakan organisasi atau perkumpulan/perhimpunan orang-orang idealis atau masyarakat yang memiliki komitmen kuat untuk melakukan sesuatu, punya misi, visi yang jelas, konsisten, berkesinambungan dan berada di luar jalur kekuasaan pemerintah. Kalaupun ada support dari pemerintah, itu karena LSM sebagai mitra dan bukan intervensi atau bargaining.
Hal ini dapat dipahami karena di negara-negara maju, LSM menjadi lembaga yang jauh lebih profesional cara kerjanya, efisien, dan efektif, karena manusia yang terlibat di dalamnya adalah orang-orang yang memiliki kapabilitas, paling tidak cara berpikirnya tidak terlalu sempit. LSM mengambil bagian dalam berbagai aspek pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Sebutlah contoh “The Ford Foundation”, sebuah LSM (yayasan) di Amerika Serikat yang memiliki perwakilan hampir di setiap negara, memiliki program yang jelas, mengakar dan aksinya dapat dirasakan oleh masyarakat yang lebih luas. Misalnya, memberdayakan masyarakat marjinal, menumbuhkan dan memperkuat identitas suku bangsa, menegakkan demokrasi, dan meningkatkan ekonomi masyarakat lewat pemberdayaan perempuan.
LSM tersebut menjadi mediator dan fasilitator berbagai persoalan kehidupan masyarakat yang termarjinalkan. Pembelaan hak asasi, keadilan, demokrasi, dan pembangunan masyarakat madani yang berperadaban dan berjati diri.
Tidak kalah dengan The Japan Foundation, Asian Cultural Counsil, USAID, AUSAID, dll. Dan, saya bisa studi di Universitas Denver Colorado ini karena dukungan The Ford Foundation dan Asian Cultural Council di
Berbagai LSM lainnya di mana sepak terjang dan aksinya diakui oleh dunia, misalnya di Indonesia ICW (Indonesia Corruption Watch), Kontras, KIPP, Walhi, Kehati, Kelola, Tifa, dll. LSM mejadi tempat curahan hati, tumpuan harapan, dan saluran pemikiran masyarakat yang tersumbat ketika berhadapan dengan pemerintah yang arogan kekuasaan.
LSM menjadi pusat kreativitas yang berpihak pada kepentingan orang yang lebih banyak. LSM menjadi corong penyuara aspirasi rakyat atau kelompok masyarakat, yang seharusnya diperjuangakan oleh DPR yang telah dipilih rakyat. LSM adalah harapan dan andalan kita untuk mengontrol kebijakan dan perilaku pemeritah atau pihak-pihak lainnya yang cenderung merugikan negara, lingkungan dan masyarakat luas.
Bagaimana LSM di Nias? Di Nias, kemunculan LSM kita rasakan menjelang pemilihan umum dan suksesi kepemimpinan daerah. Menjelang saat-saat itulah gerakan dari berbagai organisasi muncul secara musiman, bagaikan jamur, namun tidak berkesinambungan dan mudah ditebak apa tujuannya dalam waktu yang singkat.
Kita masih ingat menjelang suksesi bupati di Nias beberapa tahun yang lalu. Bendera LSM ramai berdiri, koran-koran, majalah, dan lainnya turut memanaskan proses suksesi. Setelah pemilihan bupati dan wakil bupati, kegiatan berbagai LSM tadi tidak pernah ada lagi. Di mana mereka? Sudah tamat, karena suksesi telah selesai. Perebutan kekuasaan sudah berakhir. Nanti menjelang pergantian penguasa berikutnya, kita akan menyaksikan mereka lagi.
Tidak sedikit LSM di Nias. Ada LSM Pemerhati, LPM Gaksi, Geshindo, LPAM, Bangun Putra Bangsa, Bangun Nias Mandiri (BANIM), Lemgakspeda, Pelopor Bangsa, Pemuda Pelopor, Geshindo dan puluhan lainnya. Selain itu ada juga berbagai Yayasan. Misalnya Yayasan Pusaka Nias, Yayasan Bina Desa Sejahtera dll. LSM apa yang masih bertahan dan sungguh-sungguh concern pada kepentingan masyarakat Nias yang lebih banyak?
Apakah masing-masing LSM dijalankan dengan manajemen yang jelas dan transparan? Ini masih terus menjadi pertanyaan.
Citra yang lain, yaitu aktivis LSM itu premanis dan suka memaksakan kehendak. Pandangan ini telah membuat para pejabat dan masyarakat menjadi enggan dan alergi berurusan dengan LSM.
Citra ini tidak seluruhnya benar, sekalipun tidak bisa disangkal ada benarnya. Sebab, kendatipun tidak banyak, ada juga LSM yang sungguh-sungguh menjalankan idealisme dengan tindakan nyata, tanpa banyak bicara dan demo. Lebih banyak bekerja untuk kepentingan masyarakat yang lebih banyak kini dan di masa mendatang. Misalnya Gerakan LSM Pemerhati, akhir-akhir ini melakukan kontrol atas kebijakan para DPR kita. Mudah-mudahan ini ada kesinambungannya.
Karakter LSM itu dapat terlihat dan tergambarkan lewat karakteristik dan perilaku pengelolanya. Jika para pengurusnya hanya bertujuan agar dihormati karena suatu aksi yang memancing perhatian publik, kemudian ujung-ujungnya "jatah," maka organisasi itu tidak ada bedanya dengan organisasi politik yang penuh dengan intrik dan manipulasi. Organisasi yang demikian, biasanya tidak bertahan lama dan kegiatannya hanya ada jika ada yang mendanai.
Yang kita harapkan dari LSM-LSM atau oraganisasi yang bukan oraganisasi politik adalah agar lebih memfokuskan kegiatan. Tidak mencampuri atau menangani segala hal.
Pengkhususan dan pemfokusan kegiatan ini bertujuan agar para aktivis semakin profesional dalam menangani masalah dan manajemen organisasi.
Usaha-usaha produktif LSM sangat diperlukan untuk menutupi biaya operasionalnya sehingga organisasi menjadi mandiri dan tidak hanya tergantung 100% pada dana bantuan dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan terselubung. Dengan demikian, manfaat LSM menjadi lebih dirasakan oleh masyarakat. Contohnya, memberikan bantuan hukum (pengacara) bagi orang yang dilanggar haknya dengan tarif yang lebih murah (atau bebas biaya bagi masyarakat yang sama sekali tidak mampu), sehingga masyarakat bisa terbantu dalam memperoleh keadilan dan haknya, sekaligus roda organisasi bisa jalan karena ada dana yang masuk dari masyarakat. Jadi, para pengurus dan anggota organisasi harus memiliki keahlian dan profesionalisme di bidangnya. Tidak hanya modal ngomong ngambang yang tidak dapat dipegang.
Organisasi tidak hanya cukup dengan modal stempel dan kop
Idealnya, masyarakat harus mendukung dan berpartisipasi dalam progaram-program LSM yang berkarya untuk kepentingan orang banyak. Tidak hanya menerima dan menikmati, tetapi juga turut memberi dan bekerja. LSM yang berkerja secara lebih transparan untuk kepentingan orang banyak merupakan dambaan dan impian kita. Adakah…?
Penulis: Pemred Media Warisan, Sedang study Museology dan Antropology di Universitas
Thursday, January 11, 2007
COMMUNITY ARCHITECT
Website ini sangat kaya dengan ungkapan arsitektur komunitas, sangat relevan dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia yang masih berkembang dan miskin, menurut informasi yang kami dapatkan jumlah penduduk miskin Indonesia sudah mencapai sekitar 40 juta orang, sungguh jumlah yang sangat besar.....