BASMI KUSTA bukan orangnya

BASMI KUSTA bukan orangnya
JAVA JAZZ FESTIVAL 2010

Thursday, October 25, 2007

OH LSMKU

Oh...eL-eS-eM ku, Organisasiku


Oleh: Nata'alui Duha

Oh,… eL-eS-eM ku, Organisasiku
Oleh: Nata’alui Duha

Di suatu musim,
Kau tumbuh bagaikan jamur,
Jamur yang berjamur-jamur,
Jamur yang menjadi jamurku,
Jamurku menjadi jamurmu,
Jamurku tumbuh di pohon busuk,
Jamurmu liar di tulang rusuk,
Di pagi hari kau bagai madu,
Di sore hari kau jadi racun.

Tulisan ini saya mulai dengan kata-kata yang tidak enak didengar dan mudah-mudahan masih ada orang yang membacanya.

Begitulah gambaran keberadaan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM)dan organisasi-oraganisasi di Nias di mana anggota-anggotanya adalah orang Nias. Ada yang formal dan ada juga yang hanya sekadar perkumpulan bagaikan arisan ibu-ibu. Ketika ada uang, ada arisan, jika sudah tidak ada uang, warga arisan bubaran, lenyap begitu saja entah ke mana.

Selain LSM ada juga organisasi kepemudaan (OKP), ormas dan organisasi mahasiswa (HMI, GMKI, PMKRI dll), Organisasi-organisasi yang bersifat gerakan (Barani, Forkot) dan lembaga profesi, semuanya ada di pulau kita, Pulau Nias.

Mengapa hal ini menjadi sorotan saya? LSM atau dalam bahasa lain non-government organisation (NGO) merupakan organisasi atau perkumpulan/perhimpunan orang-orang idealis atau masyarakat yang memiliki komitmen kuat untuk melakukan sesuatu, punya misi, visi yang jelas, konsisten, berkesinambungan dan berada di luar jalur kekuasaan pemerintah. Kalaupun ada support dari pemerintah, itu karena LSM sebagai mitra dan bukan intervensi atau bargaining.

Hal ini dapat dipahami karena di negara-negara maju, LSM menjadi lembaga yang jauh lebih profesional cara kerjanya, efisien, dan efektif, karena manusia yang terlibat di dalamnya adalah orang-orang yang memiliki kapabilitas, paling tidak cara berpikirnya tidak terlalu sempit. LSM mengambil bagian dalam berbagai aspek pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Sebutlah contoh “The Ford Foundation”, sebuah LSM (yayasan) di Amerika Serikat yang memiliki perwakilan hampir di setiap negara, memiliki program yang jelas, mengakar dan aksinya dapat dirasakan oleh masyarakat yang lebih luas. Misalnya, memberdayakan masyarakat marjinal, menumbuhkan dan memperkuat identitas suku bangsa, menegakkan demokrasi, dan meningkatkan ekonomi masyarakat lewat pemberdayaan perempuan.

LSM tersebut menjadi mediator dan fasilitator berbagai persoalan kehidupan masyarakat yang termarjinalkan. Pembelaan hak asasi, keadilan, demokrasi, dan pembangunan masyarakat madani yang berperadaban dan berjati diri.

Tidak kalah dengan The Japan Foundation, Asian Cultural Counsil, USAID, AUSAID, dll. Dan, saya bisa studi di Universitas Denver Colorado ini karena dukungan The Ford Foundation dan Asian Cultural Council di New York.

Berbagai LSM lainnya di mana sepak terjang dan aksinya diakui oleh dunia, misalnya di Indonesia ICW (Indonesia Corruption Watch), Kontras, KIPP, Walhi, Kehati, Kelola, Tifa, dll. LSM mejadi tempat curahan hati, tumpuan harapan, dan saluran pemikiran masyarakat yang tersumbat ketika berhadapan dengan pemerintah yang arogan kekuasaan.

LSM menjadi pusat kreativitas yang berpihak pada kepentingan orang yang lebih banyak. LSM menjadi corong penyuara aspirasi rakyat atau kelompok masyarakat, yang seharusnya diperjuangakan oleh DPR yang telah dipilih rakyat. LSM adalah harapan dan andalan kita untuk mengontrol kebijakan dan perilaku pemeritah atau pihak-pihak lainnya yang cenderung merugikan negara, lingkungan dan masyarakat luas.

Bagaimana LSM di Nias? Di Nias, kemunculan LSM kita rasakan menjelang pemilihan umum dan suksesi kepemimpinan daerah. Menjelang saat-saat itulah gerakan dari berbagai organisasi muncul secara musiman, bagaikan jamur, namun tidak berkesinambungan dan mudah ditebak apa tujuannya dalam waktu yang singkat.

Kita masih ingat menjelang suksesi bupati di Nias beberapa tahun yang lalu. Bendera LSM ramai berdiri, koran-koran, majalah, dan lainnya turut memanaskan proses suksesi. Setelah pemilihan bupati dan wakil bupati, kegiatan berbagai LSM tadi tidak pernah ada lagi. Di mana mereka? Sudah tamat, karena suksesi telah selesai. Perebutan kekuasaan sudah berakhir. Nanti menjelang pergantian penguasa berikutnya, kita akan menyaksikan mereka lagi.

Tidak sedikit LSM di Nias. Ada LSM Pemerhati, LPM Gaksi, Geshindo, LPAM, Bangun Putra Bangsa, Bangun Nias Mandiri (BANIM), Lemgakspeda, Pelopor Bangsa, Pemuda Pelopor, Geshindo dan puluhan lainnya. Selain itu ada juga berbagai Yayasan. Misalnya Yayasan Pusaka Nias, Yayasan Bina Desa Sejahtera dll. LSM apa yang masih bertahan dan sungguh-sungguh concern pada kepentingan masyarakat Nias yang lebih banyak?

Apakah masing-masing LSM dijalankan dengan manajemen yang jelas dan transparan? Ini masih terus menjadi pertanyaan.
Ada satu image (citra) yang harus dihapus oleh para aktivis LSM, yaitu bahwa LSM hanya merupakan satu wadah untuk meraih proyek atau jatah. Ada yang sekadar barisan sakit hati. Ada juga LSM atau organisasi yang menjadi jalur bagi oknum tertentu untuk meraih posisi dalam lingkaran kekuasaan. Apakah image ini benar? Itulah opini yang sudah terbentuk secara alami berdasarkan pengalaman dan hasil pengamatan masyarakat kita terhadap para aktivis LSM di mana pada awalnya begitu idealis, vokal, gigih, bersemangat, tapi kemudian layu begitu saja setelah mencium dan menghirup udara hipnotis “uang dan jabatan.

Citra yang lain, yaitu aktivis LSM itu premanis dan suka memaksakan kehendak. Pandangan ini telah membuat para pejabat dan masyarakat menjadi enggan dan alergi berurusan dengan LSM.
Citra ini tidak seluruhnya benar, sekalipun tidak bisa disangkal ada benarnya. Sebab, kendatipun tidak banyak, ada juga LSM yang sungguh-sungguh menjalankan idealisme dengan tindakan nyata, tanpa banyak bicara dan demo. Lebih banyak bekerja untuk kepentingan masyarakat yang lebih banyak kini dan di masa mendatang. Misalnya Gerakan LSM Pemerhati, akhir-akhir ini melakukan kontrol atas kebijakan para DPR kita. Mudah-mudahan ini ada kesinambungannya.

Karakter LSM itu dapat terlihat dan tergambarkan lewat karakteristik dan perilaku pengelolanya. Jika para pengurusnya hanya bertujuan agar dihormati karena suatu aksi yang memancing perhatian publik, kemudian ujung-ujungnya "jatah," maka organisasi itu tidak ada bedanya dengan organisasi politik yang penuh dengan intrik dan manipulasi. Organisasi yang demikian, biasanya tidak bertahan lama dan kegiatannya hanya ada jika ada yang mendanai.

Yang kita harapkan dari LSM-LSM atau oraganisasi yang bukan oraganisasi politik adalah agar lebih memfokuskan kegiatan. Tidak mencampuri atau menangani segala hal. Ada kegiatan yang spesifik, berkesinambungan dan rutin, umpamanya pendidikan, pencerahan/advokasi, pengontrol kebijakan politik, budaya, lingkungan hidup, jender dan perempuan, hak anak, hak asasi manusia, hukum, pertanian, kelautan, pariwisata dll.

Pengkhususan dan pemfokusan kegiatan ini bertujuan agar para aktivis semakin profesional dalam menangani masalah dan manajemen organisasi. Ada program utama dan supporting program yang produktif, bermanfaat dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat setempat.

Usaha-usaha produktif LSM sangat diperlukan untuk menutupi biaya operasionalnya sehingga organisasi menjadi mandiri dan tidak hanya tergantung 100% pada dana bantuan dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan terselubung. Dengan demikian, manfaat LSM menjadi lebih dirasakan oleh masyarakat. Contohnya, memberikan bantuan hukum (pengacara) bagi orang yang dilanggar haknya dengan tarif yang lebih murah (atau bebas biaya bagi masyarakat yang sama sekali tidak mampu), sehingga masyarakat bisa terbantu dalam memperoleh keadilan dan haknya, sekaligus roda organisasi bisa jalan karena ada dana yang masuk dari masyarakat. Jadi, para pengurus dan anggota organisasi harus memiliki keahlian dan profesionalisme di bidangnya. Tidak hanya modal ngomong ngambang yang tidak dapat dipegang.

Organisasi tidak hanya cukup dengan modal stempel dan kop surat. Dan, yang paling jelek lagi jika ada lembaga yang hanya dikelola oleh satu orang atau lebih dari satu orang tapi semuanya keluarga. Pengawas, pembina, ketua, sekretaris, bendahara hanya dipegang oleh satu orang. Atau orang lain ikut, tapi hanya sebagai simbol agar tidak dicurigai. Kenyataannya, hanya seorang yang menjalankan untuk kepentingan seseorang juga.

Idealnya, masyarakat harus mendukung dan berpartisipasi dalam progaram-program LSM yang berkarya untuk kepentingan orang banyak. Tidak hanya menerima dan menikmati, tetapi juga turut memberi dan bekerja. LSM yang berkerja secara lebih transparan untuk kepentingan orang banyak merupakan dambaan dan impian kita. Adakah…?

Penulis: Pemred Media Warisan, Sedang study Museology dan Antropology di Universitas Denver, Colorado, AS.