BASMI KUSTA bukan orangnya

BASMI KUSTA bukan orangnya
JAVA JAZZ FESTIVAL 2010

Wednesday, May 5, 2010

Masalah KUSTA dan STIGMATISASInya di INDONESIA

Masalah Kusta dan Stigmatisasinya di Indonesia

Ir. Nuah P. Tarigan, MA

Pengamat Pengembangan Masyarakat

 

 

Hari Kusta sedunia yang sudah dilaksanakan pada tanggal 28 Januari 2007 yang baru lalu sepatutnyalah kita rayakan dengan rasa keprihatinan yang sangat mendalam karena ternyata masalah Kusta dan Stigma yang mengikutinya belum lenyap di bumi Indonesia sampai sekarang.

 

Jika kita melihat situasi penyakit Kusta atau Leprosy di Indonesia saya kira masih banyak orang yang tidak menyangka bahwa penyakit ini benar benar masih ada dan belum hilang sama sekali keberadaannya. Sekitar dua tahun yang lalu sayapun memiliki pendapat yang sama. Akan tetapi setelah melihat kenyataan yang sungguh-sungguh nyata akhirnya pupuslah pemikiran saya yang tidak komprehensif itu. Kehadiran penyakit ini bukannya semakin menghilang atau berkurang akan tetapi hadir semakin banyak dibeberapa daerah di Indonesia ini. Kalau dulu orang hanya tahu Rumah Sakit Sitanala Tangerang dan sekitarnya sebagai zona penderita kusta di Jakarta sekitarnya maka saat sekarang ini tersebar kemana mana. Bahkan daerah sekitar Bekasi pun saya melihat banyak penderita kusta yang berdiri dan duduk di sudut sudut jalan.

 

Seperti situasi yang berkembang di bangsa kita ini, rekan rekan penderita kusta tersebut itupun tidak diakomodir dengan baik oleh masyarakat umum dan juga beberapa instansi, mereka dianggap sebagai orang yang perlu dikasihani, atau bahkan juga dihindari dalam artian tidak diberikan kesempatan untuk berapresiasi yang positif dalam hidup mereka. Departemen Kesehatan, beberapa penyandang dana dari luar negeri, dan beberapa organisasi internasional dan nasional memang sudah memberikan bantuan yang sangat signifikan, akan tetapi ini tidaklah cukup, perlu ada gerakan yang menyeluruh dan sifatnya ‘leverage’ atau mengungkit secara bersama sama. Ibarat seperti beberapa orang yang mengungkit batu akan lebih mudah (tentunya dengan panduan aba-aba dari instansi terkait) dibandingkan dengan mengungkit batu tapi sendiri sendiri dan tanpa aba-aba lagi.

 

Hal inilah yang sering menjadi suatu masalah yang sering terjadi di Indonesia, bukan saja pada masalah kusta akan tetapi pada penyakit penyakit menular lainnya. Memang Kusta sudah tidak sepopuler dengan flu burung, tuberkolosis, HIV-AIDS, dlsb, karena dianggap sudah penyakit kuno dan sudah mulai menghilang. Perkiraan ini salah, karena ternyata penemuan kasus baru kusta setiap tahunnya masih tetap sama dan cenderung naik dari tahun ke tahun. Disamping itum Kusta bukanlah penyakit yang membuat orang mati seketika, seperti penyakit menular lainnya, akan tetapi bisa dikatakan penyakit kronis. Yang banyak sekali menimbulkan masalah masalah sosial ekonomi bagi penderitanya.

Kehadiran penyakit kusta di Indonesia memang masih akan tetap ada, peran masyarakat umumnya dan juga pemerintah beserta organisasi organisasi non pemerintah diperlukan secara simultan. Tidak ada seorangpun yang dapat menyelesaikan masalah kusta ini secara individual. Termasuk rekan rekan yang sudah lama berkecimpung dalam masalah kusta ini.

 

Dibutuhkan peran serta dari masyarakat mantan penderita dan penderita berbicara secara terbuka didalam masyarakat itu sendiri, kita tidak boleh menafikkan mereka dari segala usaha kita didalam mengentaskan masalah kusta ini. Sayang selama ini kita kurang memberdayakan mereka secara seksama, perlu usaha usaha peningkatan kapasitas dan peran yang jelas dan terbuka bagi para mantan penderita. Tentunya yang dipilih adalah mantan penderita yang memiliki motivasi yang berkarakter, maksudnya bukan karena motivasi insentif yang hanya berdasarkan uang dan materi yang sifatnya tidak akan kekal, dan juga bukan karena motivasi yang disebabkan ketakutan karena mereka tidak akan dapat penghidupan yang layak.

 

Akan tetapi untuk mencapai usaha-usaha tersebut tidaklah mudah, karena ternyata stigma-stigma yang terjadi didalam masyarakat kita dan juga penyandang cacat kusta juga masih besar. Di beberapa tempat bahkan sangat ekstrim, karena setiap langkah dari penderita kusta dianggap sangat berbahaya dan akan menjangkitkan penyakit ini ke orang orang yang berada didekat mereka. Padahal penyakit ini adalah penyakit menular yang paling lambat menular dibandingkan dengan yang lain. Stigma inilah yang membuat masyarakat penderita kusta hidup berkelompok, dan mengelompokkan dirinya, yang pada akhirnya malah membuat permasalahan akan semakin banyak dan menumpuk. Hanya sedikit persentase saja para penderita ini yang dapat mengembangkan diri mereka menjadi orang orang yang mandiri. Indonesia termasuk lamban dalam mengembangkan hal ini, apalagi kita sampai sekarang belum benar benar memperhatikan dan menjalankan undang-undang yang memiliki konsekwensi dalam menerapkan azas azas hak azasi bagi orang-orang cacat.

 

Saya ambil contoh, dalam perencanaan design pedestrian di Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman saja para perencana dan kontraktor tidak memperhatikan orang orang yang berjalan dengan kursi roda, tiang tiang yang menghalangi jalan jalan pedestrian, hanya sesuai apabila orang cacat tanpa kursi roda. Begitupula beberapa waktu yang lalu, bahkan di Istana Presiden RI pun tidak ada kamar mandi khusus orang cacat, sehingga menimbulkan kesulitan bagi mereka untuk keluar masuk kamar mandi. Ini masih merupakan contoh kecil akan betapa tidak pedulinya kita kepada orang orang penyandang cacat, apalagi para penyandang cacat kusta yang mungkin lebih menyedihkan dari cacat yang lain.

 

Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Himpunan Desain Interior Indonesia (HDII) dan Ikatan Arsitek Lansekap Indonesia (IALI) dibutuhkan perannya dalam mengembangkan ini lebih lanjut lagi sampai ketingkat yang lebih tinggi disamping peran peran dari departemen departemen pemerintah RI dan diperkuat LSM LSM lokal dan nasional.  Sebenarnya hal ini sudah lama dikembangkan dalam diskusi dan wacana mahasiswa perencanaan dan desain ini, akan tetapi diperlukan ”law enforcement” yang sangat kuat guna menghela ide ide ini sampai ketataran masyarakat yang paling bawah. Kita sebenarnya mampu, buktinya sosialisasi helm, sosialiasi pemakaian lampu sepeda motor siang hari di Jakarta yang dimulai di Surabaya dan mampu menekan angka kecelakaan kendaraan sepeda motor secara signifikan baik di Jakarta dan Surabaya. Masyarakat profesi lainnya juga bisa nimbrung disini, termasuk lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif legislatif Indonesia, pengacara, partai politik, tokoh-tokoh agama dan masyarakat, Komnas HAM, lembaga-lembaga independen, dan juga pemerintah daerah dengan pendekatan kontekstual dan relevan.

 

Bangsa-bangsa diseluruh dunia sangat memperhatikan Indonesia untuk masalah ini, termasuk lembaga-lembaga yang berasal dari Inggeris, Jepang dan Belanda. Saya khawatir ini hanya berlaku untuk mereka akan tetapi tidak berlaku bagi kita, betapa menyedihkan kalau kita bersikap seperti itu. Himbauan yang sering didengung-dengungkan pemerintah yang diwakili departemen kesehatan tidak ditanggapi dengan baik dari seluruh elemen masyarakat karena dianggap tidak menarik dan tidak memiliki nilai yang besar seperti problem problem sosial dan ekonomi lainnya.  Saya kira kita tidak perlu membuat suatu gerakan sosial yang terstruktur dan terorganisasi secara rigid atau kaku, yang dibutuhkan adalah suatu masyarakat yang bertransform secara signifikan dari hari ke hari. Memang peran hukum akan sangat mendukung, apalagi kalau dijalankan dengan penuh kesadaran dan bukan dengan penuh ketakutan. Kalau kita ingin menjadi bangsa yang mandiri, maka seharusnyalah kita mulai berfikir  dan bertindak secara kreatif, karena sampai kapan bangsa-bangsa di dunia ini akan dapat membantu Indonesia? Maka diperlukan suatu tindakan yang seperti yang saya katakan diatas yaitu membuat titik ungkit yang akan dijalankan secara bersama sama dengan satu aba aba. Demikian harapan kita masing masing.

 

Memang masih banyak problem lain yang harus kita kerjakan dan agendakan sebagai bangsa dan rakyat Indonesia selama tahun 2007 ini, saya kira tidak layak kalau masalah Kusta dijadikan agenda yang paling utama secara nasional, akan tetapi sebelum semuanya terlambat, alangkah baiknya kalau kita melihat penyakit, penderita dan mantan penderita ini serta dampak-dampak yang menyertainya apabila tidak ditangani secara dini khususnya lagi pada bagian Indonesia Timur seperti Maluku Utara, Papua, Irja Barat, NTT, Maluku, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dlsb, mungkin ini adalah pembelajaran yang mungkin kecil dari suatu pemecahan permasalahan yang lebih besar lagi di masa depan, Semoga.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1 comment:

Unknown said...

Bang saya mau re-post di Gudang Materi yah :) selamat berkarya :)